Rabu, 06 April 2011

ILLEGAL LOGGING

Permasalahan illegal logging (pembalakan liar) tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin memanas, karena penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Seperti fenomena gunung es, kasus yang mencuat ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kemudian menyebabkan bencana alam dan bencana ekonomi yang berkesinambungan.
Riau sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya alam cukup memadai, kemudian menjadi daerah yang menjadi sorotan media karena kasus pembalakan liar. Hal ini disebabkan pejabat berwenang terlalu mudah memberikan izin bagi perusahaan-perusahaan pengelola hutan tanpa melalui kajian ekologis yang memadai. Selain itu regulasi yang diberlakukan juga banyak yang tidak ramah lingkungan, bahkan cenderung memberikan celah bagi perusahaan untuk melakukan perusakan.
Pembalakan liar di Riau memang luar biasa. Setelah penemuan sekitar 100.000 meter kubik kayu ilegal di Pelalawan, belum lama ini kembali dibuktikan dengan penemuan ribuan tual kayu oleh tim gabungan pemberantasan illegal logging di Kampar. Hanya berselang empat hari setelah penemuan 2.500 tual kayu di Desa Mentulik pada dua titik lokasi, tim kembali menemukan dua titik tumpukan kayu yang jumlahnya mencapai ribuan (Riau Pos, 4 Mei 2008).
Namun sampai sejauh ini penindakan terhadap pelaku pembalakan liar masih belum terlihat. Kondisi tersebut antara lain disebabkan rumitnya penanganan hukum terhadap kasus tersebut. Bahkan dalam banyak kasus, pelaku yang jelas terbukti bersalah dapat dinyatakan bebas ketika sampai di pengadilan. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya di benak masyarakat. Melihat fenomena hukum yang demikian, tentu saja pelaku pembalakan liar semakin leluasa melakukan aksinya sebab mereka merasa mudah melepaskan diri dari jeratan hukum.

Miskomunikasi Antarinstitusi
Ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus pembalakan liar disebabkan karena belum adanya kesepahaman antarinstitusi penegak hukum. Terjadinya ketidaksepahaman tersebut kemudian menyebabkan terjadinya miskomunikasi antarinstitusi, terutama Departemen Kehutanan dan Polri. Hal itu kemudian memunculkan ego institusi dalam menanganai kasus tersebut. Sehingga penanganannya menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum yang jelas. Ini merupakan suatu kemunduran, mengingat perang terhadap pembalakan liar sudah dilakukan oleh jajaran Polda Riau sejak awal 2007 lalu.
Kondisi tersebut tercermin dengan masih disibukkannya Polda Riau oleh agenda untuk melengkapi berkas perkara terhadap 14 perusahaan HTI yang tergolong besar. Hal itu disebabkan, Kejaksaan Tinggi Riau menyatakan berkas perkara yang disampaikan polisi belum lengkap untuk dapat menuntut perusahaan-perusahaan itu telah melanggar aturan hukum. Kejati Riau ingin berkas itu benar-benar lengkap agar ketika bertarung di pengadilan, jaksa dapat memenangkan perkara (KOMPAS, 30 April 2008).
Kasus pembalakan liar dan sengketa kasus hukum kayu di Riau, kemudian dinilai sangat berat. Logikanya, kalau tidak berat, tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak akan membentuk tim khusus penyelesaian kasus Riau di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Namun hal itu belum menjadi jaminan kasus perkayuan di Riau diselesaikan dengan baik. Yang terjadi justru adanya kesimpangsiuran masalah hukum dan aturan-aturan penindakan.
Kalau presiden saja tidak mampu mengatasi permasalahan pembalakan liar di Riau, lalu siapa lagi? Wajar bila masyarakat cenderung apatis melihat kasus pembalakan liar di lingkungannya. Hal ini disebabkan banyaknya permainan hukum yang melibatkan pihak berwenang, baik itu pemerintah pengambil kebijakan maupun aparat penindak. Akhirnya masyarakat hanya menunggu sambil berharap tidak menjadi korban dari dampak negatif kerusakan hutan.
Dalam konteks penanggulangan pembalakan liar, sedikitnya ada lima hal yang perlu diperhatikan yaitu :
pertama, pentingnya menumbuhkan kesadaran konservasi bagi masyarakat yang berpotensi melakukan pembalakan liar. Kerusakan hutan sering kali dihubungkan dengan kurangnya kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya kegiatan konservasi, sementara masyarakat yang dituduh sama sekali kurang paham dan tidak menerima begitu saja tuduhan tersebut. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya penyelamatan lingkungan merupakan langkah awal untuk mengatasi pembalakan liar.
Kedua, perlunya pembangunan sumber perekonomian baru bagi masyarakat sekitar hutan. Sebab pembalakan liar seringkali dilakukan karena masyarakat tidak memiliki alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Rendahnya daya beli akibat tingginya harga kebutuhan pokok menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan tindakan pembalakan liar. Sebab nilai ekonomis kayu dinilai lebih tinggi dari sektor agraris yang bagi sebagian besar masyarakat dianggap tidak menjanjikan. Ketidakberdayaan sektor agraris ini selain disebabkan karena rendahnya harga jual hasil pertanian, juga sulitnya akses pasar bagi masyarakat di pedalaman.
Ketiga, perlunya pembangunan akses transportasi untuk mempermudah pengawasan dan pemberantasan praktik pembalakan liar. Sebab salah satu faktor penyebab sulitnya mengungkap kasus tersebut karena sulitnya transportasi menuju lokasi yang berpotensi mengalami pembalakan liar. Sebagai contoh, sulitnya menembus medan dalam penemuan ribuan tumpukan kayu tebangan hutan alam di sekitar kanal-kanal milik CV Alam Lestari di Pelalawan beberapa waktu lalu. Untuk menemukan kayu tersebut, aparat Polres Pelalawan didampingi Dinas Kehutanan dan tim ahli dari Institut Pertanian Bogor harus melewati semak belukar dan menelusuri kanal-kanal di areal hutan gambut.
Keempat, perlunya membangun kesepahaman dalam menindak kasus pembalakan liar antara Departemen Kehutanan sebagai pihak yang mengeluarkan izin pengelolaan kehutanan dengan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini penting sekali sebab banyak kasus pembalakan liar yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan, karena berbenturan dengan regulasi kehutanan seperti hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), maupun rencana kerja tahunan (RKT) pemanfaatan hutan. Untuk itulah masing-masing institusi pemerintah perlu menyamakan persepsi atau membuat regulasi khusus untuk menangani pembalakan liar.
Kelima, perlunya tansparansi dan keberanian dalam menindak pejabat atau aparat yang terlibat secara langsung maupun yang mendukung kegiatan pembalakan liar. Sebab sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum pejabat dan aparat baik di daerah maupun di pusat yang terlibat dalam kejahatan sumber daya alam tersebut. Di sini, masing-masing institusi perlu membersihkan diri dari oknum-oknum yang berpotensi merusak citra aparat dan pejabat di mata masyarakat. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dioptimalkan untuk “menyekolahkan” pejabat yang kurang berpendidikan moral dan lingkungan.
Setidaknya bila kelima tindakan tersebut dilakukan secara efektif, untuk melakukan penanggulangan pembalakan liar di Riau tidak perlu menunggu “Tangan Tuhan”. Cukup pihak berkompeten yang melakukan tindakan preventif dan represif dalam menyelamatkan hutan Riau. Sebab bila “Tangan Tuhan” yang bertindak, dampaknya akan berakibat fatal, melalui berbagai bencana alam yang tidak hanya melanda masyarakat yang berdosa, tetapi masyarakat yang tidak berdosa pun terkena imbasnya. Terlebih fenomena global warming saat ini banyak menyebabkan berbagai fenomena alam yang berpotensi menyebabkan kehancuran. Hal itu, antara lain disebabkan kerusakan hutan karena pembalakan liar.

Daftar Pustaka:
http://percikanpikiran-badri.blogspot.com/2008/05/artikel-ilegal-logging.html

Kamis, 31 Maret 2011

SISTEM POLITIK/DEMOKRASI DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

Kalau tidak salah hitung, dalamal-Qur-an Allah Swt. ada 88 kali memanggil orang-orang beriman, dengan ungkapan “ya ayyuhallaziina aamanuu”. Karena ia panggilan penentu segalanya, mengetahui yang tersembunyi (sir) dan transparan (jahr) maka bagi orang-orang yang benar-benar beriman serta merta pasti meresponnya, dalam waktu yang bersamaan membuktikan pikiran, ucapan dan tindakannya sesuai dengan bunyi dan maksud dari panggilan Allah itu. Di antaranya adalah;
“Hai orang-orang yang beriman bertkawalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (intrspeksi) apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (dalam kehidupan di dunia dan akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. AL-Hasyr ayat 18).

Dalam ayat ini, perintah Allah kepada orang-orang beriman, pertama bertaqwa kepada Allah, yakni melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya. Kedua, setiap diri diperintahkan untuk melakukan introspeksi, yakni terhadap umur yang telah berlalu, apakah dihabiskan dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai Allah (ma’ruf) atau yang dimurkai-Nya (munkar). Dengan konsekwensi pasti yang ma’ruf mendapatkan kebahagiaan, ketenangan di dunia dan akhirat, yang munkar akan mendapatkan malapetaka serta kesengsaraan di dunia dan akhirat. Introspeksi juga terhadap sejarah kejadian atau perilaku manusia masa lalu menyangkut berbagai sisi/aspek kehidupannya, termasuk kehidupan berpolitik/demokrasi. Dan inilah yang menjadi sorotan dan bahasan kita dalam halaqah ini, dengan tujuan politik/demokrasi yang ma’ruf kita pertahankan sementara yang munkar kita tinggalkan. Karena realitanya kita hidup dan tinggal dalam Negara Indonesia,maka sorotan/bahasan kita ini berkaitan dnegan politik/demokrasi di Indonesia.
Sejak merdeka, Indonesia telah mempraktekkan beberapa sistem politik pemerintahan atas nama demokrasi, dari, oleh dan untuk rakyat.
1. Tahun 1945-1959; Demokrasi Parlementer, dengan ciri;
Dominasi partai politik di DPR
Kabinet silih berganti dalamwaktu singkat
Demokrasi Parlementer ini berakhir dengan Dekrit Presiden 1959.
2. Tahun 1959-1965; Demokrasi Terpimpin, dengan ciri-ciri:
Dominasi presiden, yang membubarkan DR hasil Pemilu 1955, menggantikannya dnegan DPR-GR yang diangkat oleh Presiden, juga diangkat presiden seumur hidup oleh anggota parlemen yang diangkat presiden itu.
Terbatasnya peran partai politik
Berkembangnya pengaruh komunis
Munculnya ideologi Nasional, Agama, Komunis (NASAKOM)
Meluasnya peranan militer sebagai unsur sosial politik
Demokrasi terpimpin berakhir dengan pemberontakan PKI September 1965.
3. Tahun 1965-1998; Demokrasi Pancasila; dengan ciri-ciri:
Demokrasi berketuhanan
Demokrasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab
Demokrasi bagi persatuan Indonesia
Demokrasi yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Demokrasi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kita tidak menafikan betapa indah susunan kata berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, tetapi pada tataran praksis sebagaimana yang kita lihat dan rasakan:
• Mengabaikan eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana tidak merasa dikontrol oleh Tuhan. Para pemimpin, terutama presiden tabu untuk dikritik, apalagi dipersalahkan. Ini bermakna menempatkan dirinya dalam posisi Tuhan yang selalu harus dimuliakan dan dilaksanakan segala titahnya serta memegang kekuasaan yang absolut
• Tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab, dengan fakta eksistensi nyawa, darah, harkat dan martabat manusia lebih rendah dari nilai-nilai kebendaan.
• Tidak ada keadilan hukum, ekonomi, politik dan penegakan HAM.
• Pemilu rutin lima tahuna, tetapi sekedar ritual demokrasi. Dimana dalam prakteknya diberlakukan sistem Kepartaian Hegemonik, yakni pemilu diikuti oleh beberapa partai politik, tetapi yang harus dimenagkan, dengan menempuh berbagai cara,intimidasi, teror, ancaman danuanga, hanya satu partai politik.
Kala itu dikenal politik massa mengambang, yakni eksistensi dan kiprah partai politik hanya sampai di tingkat kabupaten/kota. Tetapi dipihak lain dengan pongah, arogan dan brutal partai hegemonik dihidupkan sampai ke pelosok-pelosok desa.
Periode ini berakhir dengan tumbangnya rezim orde baru di bawah komando jenderal besar Soeharto.
4. Tahun 1998- sekarang, orde reformasi dengan ciri-ciri enam agenda:
• Amandemen UUD 1945
• Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI
• Penegakan supremasi hukum dengan indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan atas kemanusiaan.
• Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya
• Penegakan budaya demokrasi yang anti feodalisme dan kekerasan
• Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintaha
5. Demokrasi Pasca MoU Heksinki
Bagi rakyat Aceh sebagai salah satu pihak yang terikat dengan isi MoU Helsinki harus mewujudkan prilaku politik/berdemokrasi sesuai dengan isi MoU itu, yakni antara lain:
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.
Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia (mukaddimah MoU Helsinki alinia 1 dan 2)
Sesegera mungkin tapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR.

Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/ Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.( Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 20 Tahun 200

Kamis, 10 Maret 2011

Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional

Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita tidak lepas dari pengaruh umat Islam.
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini.
Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di setiap era/ masa bangsa ini:

1. Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Pengaruh Islam terhadap perpolitikan nasional punya akar sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri beberapa kerajaan Islam besar. Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.
2. Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik di Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan. Pada masa kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme sedangkan pada masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi tertentu macam komunisme dengan segala intriknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.

3. Era Orde Baru
Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas di dalam negara. Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh ditampilkan, termasuk ideologi politik Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya kondisi depolitisasi politik di dalam perpolitikan Islam.
Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di sebut kaum skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah. Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi. Saat itu rakyat Indonesia bersatu untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto. Perjuangan reformasi tidak lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat itu. Beberapa pemimpin Islam yang turut mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua Nahdatul Ulama.
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh.
Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.

SOEKARNO DAN PERPOLITIKAN ISLAM

Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di
Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan
hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno
tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan
Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung
dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu
sesepuhnya.

Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha
menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah
satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan
kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan
dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian
besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan
dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai
Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno.
Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi
balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan
PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal
melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI
masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka
mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam
mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno
dan PKI.

Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi,
merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar
menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih
merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk
formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa
penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah
kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan
formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa
meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap
melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut
dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan
berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi
terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan
antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi
perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya
merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi
setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka
ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang
terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.
Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri
Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis
Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan
KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada
Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin
sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri
agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto
yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.

Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman
sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara
tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah
disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut,
maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik
balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat
upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama.
Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke
tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya
akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang
Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain
untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman,
H. Mustari, dan M. Machien. Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke
tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari
tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah
nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.
Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru
perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh
taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongangolongan
non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai
“borjuasi nasional”. Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi
terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di
Asia, guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi
Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari
Masyumi.

Perbandingan Sistem Perpolitikan Indonesia dan Student Government di ITS

Kehidupan berpolitik merupakan salah satu kehidupan yang sering kita temukan di dalam kehidupan bermasyarakat dan banyak sekali mempengaruhi berbagai macam dinamika kehidupan. Bahkan demi kepentingan politik pengorbanan apapun dilakukan seakan-akan kita tidak peduli dan tidak tahu akan nasib disekitar kita.
John Locke (1632) yang merupakan pelopor monarki konstitusional dan pencetus teori pemisahan kekuasaan yang biasa dikenal dengan sebutan Trias Politika, membagi kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dimana ketiga semua di antaranya memiliki keseimbangan/kesetaraan yang tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain, tetapi hanya dapat mengawasi kinerjanya saja (check and balance). Sedangkan di negara kita sistem perpolitikan yang digunakan menurut UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni seperti yang diajarkan Montesqiu dalam ajaran Trias Politika. UUD 1945 lebih cenderung menganut prinsip pembagian kekuasaan (Distribution of Power), yang masih memungkinkan adanya kerjasama menjalankan tugas-tugasnya. Adapun kekuasaan-kekuasaan itu terbagi menjadi :
1.Kekuasaan Eksekutif, di negara kita dilakukan dan dipegang oleh Presiden RI beserta kabinet, yang bertugas dalam menjalankan undang-undang yang telah ditetapkan.
2.Kekuasaan Legislatif, di negara kita akan dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang salah satunya bertugas untuk mengawasi dan mengontrol kinerja dari eksekutif serta membuat RUU.
3.Kekuasaan Yudikatif, akan dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA), yang bertugas dalam hal membuat rumusan kontitusi hukum peradilan di negara kita.
4.Kekuasaan Konsultatif, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh DPA dalama melakukan pertimbangan keputusan.
5.Kekuasaan Eksaminatif (mengevaluasi), inspektif (mengontrol), atau auditatif (memeriksa), yang akan dijalankan oleh BPK.
Dari kekuasaan yang mendasar tersebut kekuasaan tertinggi tetap akan dipegang sepenuhnya di tangan masyarakat dan dijalankan oleh MPR. Adapun anggota MPR merupakan sebagaian dari anggota DPR, tetapi belum tentu anggota DPR merupakan anggota MPR.
Setelah berbicara banyak kehidupan politik di negara, sekarang kita akan melihat bagaimanakah kehidupan politik di dalam kampus ITS, terutama kebijakan politik di dalam mahasiswa itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah Student Government di ITS. Setelah keluarnya Mubes I 1994, kebijakan pertama politik yang diterapkan adalah menganut prinsip negara federal. Prinsip ini ternyata tidak berjalan optimal dan bahkan menimbulkan problem baru bagi kehidupan ormawa di dalam kampus, diantaranya kurang efektifnya pola koordinasi yang terjadi di antara pemerintahan pusat dan negara bagian sehingga mengakibatkan tidak berjalannya kebijakan strategis pemerintah pusat dan tidak terciptanya daya dukung dari pemerintahan negara bagian. Dengan adanya problematika tersebut, akhirnya muncullah Mubes II yang mengatur bahwa kebijakan politik akan diatur dalam 3 kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Adapun yang menjalankan eksekutif mahasiswa terdiri dari HMJ, LMF, DOP, dan BEM ITS. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang dan dijalankan oleh Legislatif Mahasiswa (LM) ITS yang sifatnya representatif terhadap mahasiswa ITS. Sedangkan kekuasaan yudikatif akan dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi Mahasiswa (MKM) ITS yang sifatnya normatif dan memegang kekuasaan kehakiman. Kesemuanya tadi harusalah menjunjung tinggi Konstitusi Dasar Keluarga Mahasiswa ITS (KDKM ITS). Disamping itu, perpolitikan mahasiswa ITS juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu ormawa (BEM ITS, HMJ, LMF dsb.) dan non ormawa (LMB dan LSM).

Kiprah Wanita dalam Perpolitikan di Indonesia

Dalam konteks ini, secara khusus dapat dicatat bahwa perubahan konstitusi kita, sebelumnya belum pernah terbayangkan, mengingat peluang untuk amandemen konstitusi kecil sekali. Namun demikian, begitu terjadi perubahan politik yang cepat dan mendadak, ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto, maka desakan berbagai pihak untuk diakukannya perubahan UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Fraksi-fraksi di MPR, termasuk Fraksi Partai Golkar (F-PG) di MPR, kemudian sepakat untuk melakukan proses amandemen atas UUD 1945. Setidaknya terdapat empat alasan dalam hal ini:

• Secara empiris, dalam sejarah kehidupan kenegaraan yang berdasar UUD 1945 telah berlangsung praktik ketatanegaraan yang mengarah pada kekuasaan yang sentralistik, otoriter, dan tertutup.
• Secara akademis, UUD 1945 mengandung beberapa kelemahan dan kekurangan.
• Secara historis, para pendiri negara (penyusun UUD 1945) menyatakan UUD ini bersifat sementara, sehingga memungkinkan adanya perubahan.
• Berdasarkan pertimbangan kebutuhan bangsa, UUD 1945 dipandang kurang mampu lagi mengakomodasi dan mengantisipasi aspirasi yang terus meningkat serta perkembangan global yang semakin kompleks. Adapun garis besar Sistem Politik Indonesia menurut Hasil Amandemen Ke-4 UUD 1945, adalah sebagai berikut:
• Sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensial, dimana presiden dan wakil presiden di pilih melalui pemilu yang demokratis.
• Sistem kepartaian kita adalah sistem multipartai (banyak partai). Pembentukan partai politik dijamin oleh konstitusi sebagai konsekuensi dari hak kebebasan politik untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
• Konstitusi kita menganut sistem demokrasi langsung. Sistem pemilu kita ditentukan oleh UU (pada pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan memilih tanda gambar; pada pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka). Pemilu diselenggarakan untuk memilih: Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; Anggota DPD; Presiden dan wakil Presiden; Kepala Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
• Sistem perwakilan kita dimodifikasi dengan disepakatinya pembentukan lembaga baru yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPD dan anggota DPR adalah merupakan anggota lembaga MPR. Anggota DPD dipilih melalui pemilu yang demokratis. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. • Sistem peradilan kita juga dimodifikasi dengan disepakati pembentukan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), yang memiliki kewenangan di seputar pengajian aspek konstitusional.
• Adanya amanat penyelenggaraan otonomi daerah secara luas. Singkat kata, dengan adanya perubahan UUD 1945, maka kehidupan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memasuki era baru dengan sistem politik ketatanegaraan yang baru pula, yang lebih memberikan peluang bagi kehidupan yang demokratis. Kita sadari bahwa wanita dalam kancah perpolitikan sangatlah minim dan seakan akan wanita selalu di rugikan oleh lelaki terbukti dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang kursi kaum perempuan di birokrasi, perempuan hanya di batasi tiga puluh persen selebihnya itu untuk kaum lelaki, dan hal ini bukan berarti bahwa wanita tidak mampu dan bersaing dengan kaum lelaki, untuk saat ini mungkin undang-undang yang mengatur kursi atau jatah di berokrasi masih kokoh artinya tidak ada perubahan tapi bukan berarti undang-undang ini akan terus kokoh selamanya suatu saat pasti akan ada perubahan mengingat kemampuan dan juga semangat perempuan sudah tidak bisa lagi diragukan, kalau kita lihat di permukaan ternyata wanita sudah mulai banyak mewarnai dalam even-even penting misal saja dalam pemilu ,pilgub, pilkada, pilkades bahkan sampai pada tatanan struktur yang paling bawah, ini menunjukkan bahwa wanita tidak seperti yang di bayangkan oleh kebanyakan lelaki, perempuan tugasnya hanya di rumah melayani suami (kata wanita! melayani suami kan ada waktunya masak harus setiap waktu, kapan kerjanya), selain itu juga mendidik dan mengkader anak agar supaya menjadi anak yang cerdas dan baik yang bisa di harapkan oleh bangsa, ada yang mengatakan bahwa wanita adalah lemah baik lemah dalam keilmuan, ketegasan dalam mengambil keputusan, wanita adalah mahkluk sensitif dan feminim dan juga wanita mempunyai kekurangan dalam reproduksi yang akan menghambat keberlangsungan tugasnya dan lain sebagainya dan hampir secara keseluruhan kaum lelaki sepakat dengan alasan-alasan di atas karena itu sifatnya menguntungkan kaum lelaki dan bahkan ada yang mengatakan bahwa tiga puluh persen porsi di birokrasi untuk perempuan sudah cukup banyak mengingat kelemahan dan kekuranganya.

Satu hal mungkin yang perlu di perhatikan bahwasanya itu semua terjadi tidak terlepas dari kualitas demokrasi di Indonesia sehingga ada asumsi siapa pun yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi terbesar di dunia haruslah hati-hati. Lihat saja dalam pemilu, pilgub, pilkada, pilkades perempuan selalu di permasalahkan dengan alasan-alasan yang itu justru merugikan perempauan dan menguntungkan kaum lelaki, padahal makna demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat , dengan wakil mereka di kursi pemerintahan dengan tidak mempermasalahkan perempuan memimpinnya, kalau di anggap keilmuanya mapan dan mampu membawa Indonesian kearah yang lebih baik kenapa tidak mari kita dukung dan gusung bersama-sama karena kekuatan sebuah Negara bukan terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada bawahannya untuk menyatukan komitment dan siap berjuang bersama-sama, Bapak pembangunan soeharto kuat bukan terletak pada soeharto sebagai presiden akan tetapi adanya komitment dari jajaran bawahannya untuk mengarahkan dan menjadikan Indonesia lebih baik.

Satu hal yang perlu di perhatikan bahwasanya sampai kapanpun lelaki takkan pernah mau dan sudi dipimpin oleh kaum perempuan, kaum lelaki boleh mengatakan hal itu bahwa perempuan lebih lemah , tapi kita tidak bisa menutup mata dengan realitas, terbukti dengan adanya orang pertama berpangkat jendral bintang empat di WASHINGTON-AS yaitu perempuan bernama Ann E. Dunwoody. Karir kepangkatan Donwoody secara resmi di kukuhkan dalam sebuah ceremonial promosi di pentagon. Dan tugas barunya sebagai panglima komando logistik militer di Virginia dan di Indonesia-pun pernah di pimpin oleh perempuan dari keturunan pejuang kemerdekaan dan orang pertama di Indonesia pada Zaman Belanda Ibu Megawati Soekarno Putri dari itu bisa di tarik kesimpulan bahwa perempuan juga bisa tampil dan bersaing dengan kaum lelaki.

Rabu, 09 Maret 2011

BAB III: KETAHANAN NASIONAL

Latar Belakang
Dalam perjuangan mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, maka suatu bangsa senantiasa akan menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan dan ganmgguan dari manapun datangnya baik dari luar maupun dari dalam, sehingga diperlukan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional yang disebut ketahanan nasional yang didasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Manusia Berbudaya. Sebagai salah satu makhluk Tuhan, manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna. Manusia berbudaya akan selalu mengadakan hubungan-hubungan :
a. Dengan Tuhan, dinamakan “Agama”
b. Dengan cita-cita, dinamakan “ideologi”
c. Dengan kekuatan / kekuasaan, dinamakan “politik”
d. Dengan pemenuhan kebutuhan, dinamakan “ekonomi”
e. Dengan manusia, dinamakan “sosial”
f. Dengan rasa keindahan, dinamakan “seni/budaya”
g. Dengan pemanfaatan alam, dinamakan “ilmu pengetahuan dan tekhnologi”
h. Dengan rasa aman, dinamakan “prtahanan dan keamanan”

2. Tujuan Nasional, falsafah bangsa dan ideologi negara. Tujuan nasional, menjadi pokok pikiran dalam ketahanan nasional, karena sesuatu organisasi apapun bentuknya dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkannya akan selalu berhadapkan dengan masalah-masalah yang internal dan eksternal.
Makna falsafah sebagai ideologi negara dalam pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
a. “Alinea Pertama. Menyebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Maknanya: “Merdeka adalah hak semua bangsa”,penjajahan bertentyangan dengan hak azasi manusia”
b. “Alinea Kedua. Menyebutkan dan perjuangan kemerdekaan indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur”, maknanya : Adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
c. “Alinea Ketiga. Menyebutkan, atas berkat rahmat allah yang maha kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Maknanya : Bila negara ingin mencapai cita-cita maka kehiduypan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridho Allah yang merupakan dorongan spiritual.
d. “Alinea keempat. Menyebutkan, kemerdekaan dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara indonesiayang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu dalam susunan negara republikindonesia yeng berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kepada “ ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia dan kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Alinea ini maknanya mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa indonesia melalui wadah negara kesatuan republik indonesia.

Pengertian Ketahanan Nasional Indonesia
Rumusan Ketahanan Nasional harus mempunyai pengertian baku agar semua warga negara mengerti serta memahaminya. Adapun pengertian baku yang diperlukan adalah :
Ketahanan Nasional Indonesia (Tannas) Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi. Suatu kondisi kehidupan yang dibina secara dini terus menerus dan sinergik, mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah dan nasional. Proses berkelanjutan untuk mewujudkan kondisi tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran geostrategi berupa suatu konsepsi yang dirancang dan dirumuskan dengan memperhatikan kondisi bangsa dan konstelasi geografi Indonesia. Konsepsi tersebut dinamakan Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia.

Pengertian Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia
Konsepsi Ketahanan Nasional (Tannas) Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh dan terpadu berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara.