Kamis, 10 Maret 2011

SOEKARNO DAN PERPOLITIKAN ISLAM

Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di
Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan
hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno
tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan
Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung
dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu
sesepuhnya.

Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha
menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah
satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan
kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan
dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian
besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan
dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai
Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno.
Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi
balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan
PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal
melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI
masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka
mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam
mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno
dan PKI.

Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi,
merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar
menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih
merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk
formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa
penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah
kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan
formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa
meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap
melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut
dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan
berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi
terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan
antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi
perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya
merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi
setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka
ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang
terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.
Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri
Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis
Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan
KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada
Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin
sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri
agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto
yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.

Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman
sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara
tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah
disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut,
maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik
balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat
upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama.
Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke
tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya
akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang
Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain
untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman,
H. Mustari, dan M. Machien. Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke
tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari
tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah
nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.
Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru
perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh
taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongangolongan
non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai
“borjuasi nasional”. Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi
terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di
Asia, guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi
Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari
Masyumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar